Pages

Pengikut

Minggu, 24 Juni 2012

Upacara Pitra Yadnya @ Berteh Village, Tabanan Bali

Upacara pitra yadnya (ngaben) sudah sangat lazim dan lumrah dilaksanakan masyarakat Bali. Upacara pengabenan sangat mudah dijumpai di berbagai tempat di Bali, bahkan saban hari ada kegiatan ngaben. Ini sangat terkait dengan proses lahir, hidup dan mati insan di dunia ini. Meski demikian, ternyata tidak sedikit juga masyarakat yang masih bisa dikatakan salah menafsirkan tentang upacara pitra yadnya dari salah satu ajaran Panca Yadnya yang dianut umat hindu. Misalnya mengenai besar-kecilnya bentuk upacara. Apa sesungguhnya makna upacara pitra yadnya itu? Bagaimana kaitannya dengan konsep ajeg Bali?

Istilah pitra yadnya dapat diartikan pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus ikhlas kepada leluhur, terutama orangtua. Pitra yadnya itu merupakan sebuah kegiatan keagamaan yang dilaksanakan untuk menyelanggarakan atau nyagaskara jenazah atau roh keluarga yang meninggal dengan menggunakan berbagai sesajen dan sarana upacara. Melakukan pitra yadnya merupakan sebuah kewajiban bagi keluarga yang masih hidup untuk anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia.

Pitra yadnya (ngaben) ini juga diartikan proses pengembalian unsur-unsur Panca Mahabutha yang membentuk manusia ke asalnya. Seperti unsur pratiwi (tanah), apah (air), teja (cahaya), bayu (udara) dan akasa (ether). Semasih Panca Mahabutha berbetuk manusia, termasuk setelah meninggal (jenazah), manusia sebagai pemakai kelima unsur itu dikatakan sebagai pihak yang berutang. Namun, setelah meninggal, manusia tidak mungkin punya inisiatif untuk mengembalikan utang itu, sehingga anggota keluarga yang masih hiduplah yang membantu mempercepat proses pengembaliannya.

Proses pengembalian utang itu sendiri ada tiga jalan yang bisa dilakukan, yakni nista, madya dan utama. Ketiga hal itu ada, diakibatkan adanya perbedaan status sosial (faktor ekonomis) masyarakat. Banyak masyarakat yang menganggap upacara pitra yadnya sukses apabila jumlah banten-nya besar dan banyak, bade tinggi menjulang bagaikan pencakar langit. Seringkali dipakai ukuran adalah jumlah orang yang terlibat di dalamnya, jumlah dan kualitas tamu yang hadir, besarnya biaya yang dihabiskan dan lainnya.

Persembahan yang besar, sering juga diartikan lebih utama dibandingkan dengan yang lebih kecil. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Sukses tidaknya sebuah upacara pengabenan, tidak bisa hanya diukur dari penampilan luarnya saja. Banyak masyarakat yang serta merta mengartikan nista merupakan sesuatu yang kurang atau jelek dan berkonotasi negatif. Begitu juga madya, diartikan tidak jelek dan juga tidak baik (menengah), dan utama diartikan sangat baik atau sangat utama. Karena itu, tidak sedikit masyarakat yang merasa minder menggelar upacara pengabenan dengan jalan nista dan merasa sangat bergengsi ketika mampu melaksanakan yadnya yang utama. Itulah kekeliruan tafsir masyarakat yang terus-menerus berkembang, ungkap Ida Pedanda Griya Sanur, Pejeng ketika dijumpai di Grianya, Selasa (19/10) kemarin.

Ida Pedanda mengatakan kesalahan tafsir seperti itu harus sedikit demi sedikit dihilangkan. Menurutnya, pengabenan dengan jalan nista, sama maknanya dengan jalan madya ataupun utama. Yang kurang mampu, tentu akan melaksanakan yadnya nista, dan seterusnya. Nista artinya memang kecil, tetapi ini justru tingkatan upacara dengan prosesi yang sulit, karena harus benar-benar menyentuh ke inti.

Yang terpenting di sini, katanya, adalah pangrajeg upacaranya. Karena dalam yadnya tingkatan itu, peran pangrajeg upacara sangat berpengaruh, sehingga dibutuhkan pangrajeg yang benar-benar berdasarkan yadnya dan keikhlasan. Artinya, mampu melaksanakan upacara yang menggunakan sarana sedikit itu tanpa menghilangkan makna dan mengubah esensinya. Secara niskala, kalau sarana upacara kurang, roh akan ngrebeda. Tentu hal seperti tidak diharapkan, sehingga yang diperlukan untuk ngerajeg upacara adalah pangrejeg yang benar-benar uleng, katanya.

Begitu juga dengan ngaben yang utama. Dengan sarana banten yang banyak dan besar, bade yang tinggi dan menghabiskan biaya yang banyak, bukanlah jaminan bahwa proses upacara pengabenan itu sukses. Apalah artinya besarnya banten atau banyaknya biaya yang dihabiskan untuk upacara pengabenan kalau tidak diikuti dengan pikiran yang jernih, kata Ida Pedanda.

Oleh karena itu, belakangan banyak muncul imbauan-imbauan dari para pemuka agama, tokoh-tokoh budaya dan orang-orang yang berkompeten lainnya, agar pelaksanaan pengabenan itu bukanlah sebagai ajang gengsi-gengsian dengan menghambur-hamburkan biaya yang lazim disebut pemborosan. Namun, imbauan itu tidak sepenuhnya benar, karena banyak yang melakukan yadnya yang nista, hanya untuk penghematan. Padahal, yang menyelenggarakan yadnya itu orang berada. Kalau begitu juga salah, tambahnya.

Selain ada tiga jalan dalam proses pelaksanaan ngaben, juga dibedakan berdasarkan usia yang diaben. Tingkatan usia itu yakni, bayi belum kepus pungsed (tanggal tali pusarnya-red), belum berusia 105 hari, belum tumbuh gigi susu dan seterusnya. Masing-masing tingkatan usia punya ketentuan tersendiri yang tidak dapat ditukar satu sama lain.

Dikatakannya, ngaben bukan semata bertujuan untuk membakar mayat atau sawa untuk menjadi abu. Tetapi, benar-benar untuk mengembalikan unsur-unsur yang membentuk manusia ke tempat asalnya. Mulai dari penggalian jenazah dari liang kubur bagi mereka yang telah dikubur. Kemudian pembakaran jenazah dan nganyut. Saat meninggal, kemudian dikubur merupakan bentuk pengembalian unsur pratiwi, pembakaran merupakan pengembalian tiga unsur sekaligus yakni teja, bayu, akasa dan kemudian nganyut merupakan pengembalian unsur apah.

Di sini banyak juga yang keliru menafsirkan. Pada saat nganyut itu dikira nganyut atma yang kemudian ditarik kembali (ngedet) ke segara pada hari ke-12 setelah proses nganyut. Sesungguhnya bukan nganyut atma, tetapi mengembalikan unsur apah. Yang pada hari ke-12 setelah nganyut tersebut, cukup diupacarai dengan tebasan sidakarya saja.

Selasa, 05 Juni 2012

Jadilah Legenda by Suerman Is Dead (New Entry)


intro
G C D G
G C D G

 G            C
hembus angin yang terasa panas
D            G
keringat menetes di dada
G            C
tiada henti kau bekerja keras
D            G
berjuang demi cinta

          C            G
untuk indonesia jadilah legenda
        D
Walau dihancurkan dan disakiti
       C            G
kau tetap berdiri disini
        C               G    
untuk indonesia jadilah legenda
     C            D
kita bisa dan percaya
  G             C
lihatlah hutan indahnya ombak
   D             G
gemulainya pohon kelapa
   G             C
para gadis yang mulai menari
   D            G
kibarkan merah putih
       C                 G
untuk indonesia kita punya semua
      D                   C
sribu budaya dan kekayaan alam yang
         G
takkan terkalahkan

C                     G  
untuk indonesia jadilah legenda
C            D
kita bisa dan percaya


      G      Em  C      D
darah indonesia akulah halilintarmu
      G      Em  C      D
darah indonesia menggelegar tuk selamanya
      G     Em  C     
darah indonesia walau badai
D
menghadang
                 G      Em
kau takkan pernah hilang

C           D
walau badai menghadang
G
kau tak pernah hilang

Rabu, 30 Mei 2012

Story with Suardi @ Pinge Village

Yang namanya setiap orang udah pasti donk punya temen or soulmate, tidak terkecuali dengan diriku dan setiap insan pun memiliki cerita yang beragam dengan temennya, ini nich ceritaku..
Setiap ada tugas dari dosen pasti aku dan Suardi selalu bekerja sama begitu juga dengan kegiatan sehari-hari, klw ada waktu senggang yaa aku yang mampir ke pondoknya dan juga sebaliknya. nah ini dia nich... ada satu cerita pas kita melakukan survei tempat dimana yang nantinya akan dijadika  bahan tugas akhir alias skripsi alias tesis dan apalah gitu, kita mendapatka rekomendasi dari salah satu dosen pembantu ketua di STIE Triatma Mulya untuk melakuka penelitian di Desa Pinge yang mana letak geographisnya disekitaran desa Marga Kabupaten Tabanan wahh..gilaaakkk tempatnya jauh juga dari Denpasar mana jalannya agak rusak lagi lengkap sudah kerikil-kerikil perjalanan kita..
Dan ceritanya skrng kita sudah nyampe di Desa Pinge, langsung saja kita cap cus nyari Kelian Dinas alias ketua RT kalau di bahasa indonesiakan. pak Kelian menerima kita dengan terbuka sambi cerita-cerita mengenai Desa nya yang akan dijadikan desa wisata itu, setelah selesai bincang-bincang sekitar 1 jam-an kita langsung cek dan ricek wajah desanya dan ternyata wuuiiihhh,, suasananya tidak jauh beda sama desa wisata yang terkenal yang ada di Bangli itu-tu namanya Desa Penglipuran dan kami pun memutuskan untuk menjadikan Desa Pinge sebagai bahan penelitian skripsi.
Ini dia nih wara-wiri kita sambil menikmati pemandangan yang ada di Desa Pinge dan Pemanis. kalian bisa melihat gambarnya di bawah ini:

Dan besar harapan kami setelah menjadika Desa Pinge sebagai bahan skripsi, dan melihat hasilnya kelak nantinya akan menjadi bahan acuan utuk lebih memperbaharui sarana dan prasarana yag ada di desa Pinge baik dari pemerintah Kabupate maupun Provinsi dengan  memberikan bantuan/ suntikan dana..
Hope it Realized..

GWK Event


Inilah moment-moment saat kita DW (Daily Worker) di Garuda Wisnu Kencana bersama saya sendiri, Angga dan konco-konco yang lainnya. seperti biasa kita klw Dw di sekitaran Nusa Dua dan uluwatu pasti tidak akan lepas dari yang namanya Kemacetan di Patung Dewa Ruci..

Dewa Ruci Statue
ehhh..perjalanan yang sebenarnya 1 jam bisa 2 kali lipatnya coyy.. dan yang lebih parah lagi setelah tiba di Gwk-nya, emang sich pemandangannya bisa memanjakan mata tetapi auanginnya kuenceng buanget, tempat Buffet Stationnya lumayan tidak dekat jadinya agak gempor dan mw copot dah persendian kaki, tapi itu semua udah menjadi hal yang biasa bagi kami setiap terjun dilapangan.
Yang tambah parah lagi tamunya mulai Dinner jam 9 malam coy, mana kita semua udah pada ngantuk tapi tetep semangat mau tidak mau pasti pulangnya kyk nyanyian Blink 182 "Late Nigt Come Home" wekekeke.
eehhh.. dan ternyata bener kita balik dari TKP jam stngah 1, mana pas clear up barang-barang kitchen ehh...tiba-tiba saja suasana jadi gelap gulita maklum genset mati..ujung-ujungnya pulangnya jadi tambah telat.. But we enjoy it.. 

Selasa, 29 Mei 2012

Tirta Yatra


Tepat Rahinan jagat Galungan lan Kuningan pada hari Rabu, 1 Februari 2012 saya, kakak dan paman nangkil ke pura Sad Khayangan di Pura Puncak Luhur Lempuyang. kami berangkat dari Denpasar menuju Karangasem pukul 7 pagi dan membutuhkan 2 jam perjalanan, setelah sembahyang di Pura Puncak Luhur Lempuyang kami segera melanjutkan perjalanan untuk nangkil ke Pura Besakih, waktu pun tak terasa dan kami balik menuju Denpasar tepat pukul 7 malam tiba di Dalung.

Sabtu, 12 Mei 2012

Wisata Edukasi...





wahhh akhirnya baru bisa nyetem lg setelah melewati puluhan hari bulan purnama soalnya habis dari semadi kkwkwkw...
Tanpa basa basi lg langsung saja coy. . gambar diatas sebenarnya tercipta dari rencana spontanitas temen, awalnya mulanya rencana untuk mengunjuni salah satu objek penelitian gitu di Tabanan tepatnya di Taman Kupu-Kupu Tabanan bersama Digo,Suardi n Kevin Liem ehhhhh..ternyata sekaligus tempat yang kita kunjungi itu ternyata bwt tempat wisata juga lohh..yaaa hitung2 kata pepatah sambil nyelem minum air jadi lumayan bwt cuci otak setelah UAS di Kampuz..
kok jd panjang lebar yaa,, klo gt lgsung sj dah ceritanya.. pada sekitar jam makan siang kita ber4 langsung menuju lokasi penelitian yang jaraknya sekitar 30km yg menghabiskan 3.600 sekon perjalanan dari pusat kota "Dalung Bali Rock City" alias t4 tinggal ku, setibanya di TKP kita langsung menuju ke entrance (sok USA:) betapa terkejutnya diriku mendengar HTM-nya 60k, wahhhhh... mana uang kaga ada neh, langsung sj kita pake jurus lama bwt ngadapi si penjaga tiket tuh dan ternyata kita dikasi 15k/kepala (khusus wisatawan lokal yang berkantong tipis kayak kita anak kampus). kurang lebih sekitar 2 jam kita jeprat-jepret kanan kiri bawah atas bersama kupu-kupu dan serangga yang menghuni taman tersebut...dan hahh hati ini terasa di refresh..